Rasanya sudah lebih dari tiga kali aku memanggil dan mondar-mandir di depan toko yang khusus menjual segala macam makanan ternak. Mulai dari ayam, burung sampai snack kucing. Kebetulan snacknya Kopi tinggal sedikit, dan mumpung lewat sini sekalian mampir beli biar nanti tidak usah keluar rumah lagi. Sepertinya mau turun hujan.
Seorang laki-laki paruh baya menghentikan motornya tepat di depan toko. Beliau masuk dan sama sepertiku saat datang lima menit lalu, celingak-celinguk dalam toko yang sepi dan mulai memanggil dengan suara lantang. Namun hasilnya sama saja, tidak ada tanda-tanda pergerakan dari si pemilik atau siapalah yang berhubungan dengan toko ini. Mungkin karena posisi toko yang berada di depan pertigaan selalu ramai dan bising sehingga membuat si pemilik yang mungkin sedang bobok siang, nonton teve atau lagi meditasi tidak dapat mendengar teriakan kami.
Rupanya bapak ini tidak sabar, sambil ngedumel beliau menggenjleng motornya lalu pergi. Aku hampir saja mengikuti jejaknya ketika seorang wanita berkulit gelap, rambut berantakan dan mata bengkak keluar dari dalam toko.
Astaga, sudah ku duga dia pasti sedang bobok cantik.
"Beli apa, Nduk?"
"Snack kucing buat yang masih bayi."
"Berapa?"
"Satu bungkus."
"Satu bungkus?"
"Iya."
"Satu bungkus saja? Tidak ada lagi."
"Iya. Itu saja."
Aku menyodorkan uang lembar 100ribuan dan dia bilang uangku terlalu besar, tidak ada kembaliaannya. Dia lantas memberi saran untuk membelanjakannya di mini market depan. Aku menurut saja dan berjalan menyebrang jalan. Karena bingung mau beli apa. Aku putuskan mengambil air mineral dingin di kulkas dan berjalan menuju kasir.
Sambil menyodorkan air mineralnya aku bertanya, "Berapa, Koh?"
"Tiga ribu."
Aku memberikan uang lembar 100ribuan yang tadi. Setelah mendapatkan uang kembalian dan air mineral dibungkus kantung kresek aku kembali ke toko itu. Saat aku kembali, ada seorang wanita kira-kira seusia nenekku sepertinya datang untuk membeli pisang yang biasa untuk makan burung.
"Gedange entek? (1)" tanyanya dengan logat daerah yang sangat khas. Dengan intonasi memanjang mirip cengkok dangdut dan suara yang lantang.
"Nanti sore ke sini lagi, yo!" Sahut pemilik toko.
Setelah membayar dengan uang pas, si pemilik toko memberiku snack kucing. Seharusnya aku langsung tancap gas dan pergi. Tapi ada sesuatu yang menahanku untuk tinggal sebentar lagi. Secara sengaja aku mendengarkan pembicaraan pemilik toko dan wanita tua yang datang membeli pisang. Bukan topik pembicaraan mereka yang membuatku tertarik, bukan juga karena pisang. Tapi cara wanita tua itu berbicara, meski dengan aksen berbeda. Wanita itu mengingatkanku pada seseorang yang bisa jadi hampir mirip.
Entah ini karena kebiasaan orang-orang sukuku, suku Osing. Yang memiliki banyak sekali logat dan aksen yang berbeda meski dengan bahasa sama. Mungkin setiap desa memiliki logatnya tersendiri, seperti yang sangat khas logat dari Canthuk, Kedaleman, Gambor dan Melik. Aku rasa masih banyak lagi.
Dan satu lagi yang unik dari wanita tua itu, beliau mengulang pertanyaan yang sama meski tahu jawabannya tidak akan berubah, "Gedange wes entek,"
dan itu mengingatkanku pada seseorang.
Tidak terasa aku berdiri sudah cukup lama dan membuat pemilik toko dan wanita itu melayangkan pandangan aneh terhadapku. Cepat-cepat aku pergi ke arah motorku dan memutar dari arah rumah.
Entah apa yang aku pikirkan sekarang? Aku jadi ingat sosok yang sama yang suka bertanya. Kurang afdol pokoknya kalau pertanyaannya tidak diulang sampai lima kali.
"Sudah makan?" pertanyaan itu selalu menjadi pertanyaan pertama begitu melihat wajahku. Mungkin karena pipiku yan chubby mirip tomat kalau lagi marah. Meski aku jawab, beliau akan bertanya terus sampai lima kali. Lalu beliau akan menyuruhku makan. Perintahnya pun akan diulang sampai lima kali, menyuruhku minum dan nambah nasi sampai lima kali. Bertanya apapun akan beliau ulang sampai lima kali. Untung tidak pernah berani bertanya kapan kawin, kalau tidak kepalaku pasti akan pening.
Terkadang menjadi sangat menyebalkan menjawab semua pertanyaan beliau yang selalu diulang lima kali. Hingga terkadang ada perasaan malas untuk datang berkunjung ke rumahnya. Tapi wanita tua tadi mengingatkanku pada sosoknya. Sosok yang dianggap menyebalkan oleh hampir semua cucunya, namun perlu diingat, beliau adalah tempat kami meminta uang tambahan ketika permintaan kami sudah melewati stok persediaan uang jajan. Dan beliau tidak pernah keberatan.
Kini aku justru batal pulang dan memutar arah, ke rumahnya. Ke rumah Nenek.
(1) "Pisangnya sudah habis?"
Nenek terkadang bawel ke cucu cucunya tapi sebenarnya nenek adalah sesosok yang sangat penyanyang, buktinya ketika cucunya kekurangan uang saku, saat meminta pasti dikasih.
ReplyDeleteIya mbak, mungkin kita sering menganggap nenek itu cerewet dan nyebelin, nggak jarang pula mengatakan beliau pikun cuma gara-gara sering mengulang pertanyaan yang sama. Padahal mungkin itu cara beliau untuk berkomunikasi dengan cucu-cucunya.
DeleteSi nenek itu hendak beli pisang atau beli gedang sih???
ReplyDeleteKalau ditempatku gedang itu pepaya. :-D
Hehehe iya, kalau dalam bahasa sunda gedhang itu pepaya ya?
DeleteYa betul,gedang itu pepaya kalau di sunda.
DeleteKalau orang jowo gedang itu pisang yah ;-)
cerita ini mengingatkan aku pada nenekku..,
ReplyDeleteyah dulu aku sering dikasih uang sama nenek meski aku ngak minta, tapi aku sering di kasih., anehnya kalau uang yg di kasihkan ke aku ngak aku terima dia jadi sedih..
Kak anggi, kalau suku osing itu daerah mana ya?
ReplyDeleteApa sama dengan sing (rakyat majapahit)
logatnya apakah mirip logat jawa?
Nenek memang begitu menyebalkan, pasti nyuruh cucunya tanya cucunya diulang-ulang sampai malas buat ngejawab. Tapi yang paling males ditanya kapan nikah... Kapan nikah kapan nikah??? Udah ga sabar pengen due buyut... Aahh...
Aku masih abg disuruh nikah payah.
oh maksdnya pepayanya sudah habis
ReplyDeleteeh, pisangnya sudah habis
kalau nenekku paling pandai bercerita
nenekku pahlawanku saat aku sdg jatuh cinta hehe
Mengenai dialek, orang2 di tempatku juga begitu. Meski bahasanya sama, tapi tiap desa mempunyai ciri khas dan logat sendiri2 dalam berbicara.
ReplyDelete