Ilustrasi oleh Ana
“Novi.”
Dari jauh dapat kulihat Rida dan Fajar berlari ke arahku dengan wajah gusar, tanpa kata-kata mereka menarikku. Dengan iman kuserahkan langkah kakiku kemana mereka mau membawa.
Ternyata mereka membawaku ke belakang gedung asrama perempuan yang telah ramai oleh kerumunan siswa, ada yang tidak biasa. Di sana sudah berdiri Ana di antara para siswa yang mengitari seseorang yang hanya bisa kulihat dari kakinya saja.
Ana melihatku sekilas ketika mataku. menyiratkan ‘Apa yang terjadi?’ dan mata Ana menjawabnya dengan membuang pandang pada sosok seorang gadis yang bergantung.
“Astaghfirullah,” bisikku. tak sanggup menyaksikan pemandangan itu.
Aku merangsek keluar dari kerumunan, diikuti Fajar, Ana dan Rida. Merapat ke sebuah got. Kubuang seluruh isi lambungku.
Hoek. Hoek. Grrr. Tak keluar apa-apa dan baru teringat bahwa perutku belum terisi apapun kecuali secangkir teh manis bikinan Rida yang ku curi secara diam-diam tadi pagi.
Aku masih mengingat wajahnya. Rambut merah yang selalu dikuncir kuda. Tingginya yang melebihi postur normal orang Indonesia dan tubuhnya yang kelewat kurus membuatnya mudah untuk dikenali. Mungkin karena aku memandang dia seperti jerapah sementara kami hanya kurcaci bila dibandingkan dengannya.
Aku masih ingat pertemuan terakhir kami yang terjadi tidak lebih dari 24 jam lalu. Di sebuah gudang tua, pengap dan lembap. Sebuah ruangan tempat menyimpan kursi dan meja yang rusak.
"I don't expect you to find me," Dia duduk di sudut ruangan dengan kedua kaki yang ditekuk dan wajahnya dibenamkan di antara kedua dengkulnya. Rambut kuncir kudanya tergerai berantakan dan sekujur tubuhnya basah.
"Kamu ngilang dari pagi, satu Sekolah nyariin kamu. Kamu ke mana saja seharian ini?"
"Apa tujuan hidupmu?" dia malah menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.
"I don't know. I Just live," jawabku ragu-ragu.
"How lucky. Kamu nggak perlu tahu tujuan hidup kamu."
"Menurutku itu bukan sebuah keberuntungan. Hanya saja.." aku terhenti sejenak. Sedang memikirkan kalimat berikutnya.
"Apa tujuan hidupmu?"
"Is that your favorite mode of questioning or what? Nanya gitu terus daritadi."
Aku mulai jengkel padanya yang terus-terusan menanyakan tentang kehidupan. Aku sendiri masih belum tahu tujuan hidupku untuk apa?
"Setiap hari aku menjadi saksi betapa manusia harus hidup untuk menyenangkan orang lain. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan menyapa ketika mereka berjalan di depan kita. Kalau tidak, bakal seperti ini jadinya," dia mengangkat kepalanya.
"Apa yang telah terjadi?" aku terperanjat. Kaget bukan kepalang melihat wajahnya dipenuhi warna biru. Lebam. Ada bercak darah kering di sekitar hidung dan bibirnya. Tapi dari semua itu, yang paling membuatku tertarik adalah sebuah tulisan di keningnya, 'Go to hell'.
"Aku pikir teman-temanmu tahu jawabannya."
Dia kembali membenamkan wajahnya. Mungkin karena malu.
"I envy you. I wish I had the same privelege."
***
Berada di kantin. Duduk dengan wajah gusar bersama Fajar, Ana dan Rida dengan wajah yang tak kalah gusarnya.
“Tidak mungkin,” Bisik Fajar. Wajahnya pucat pasi. Berkali-kali dia mengusap keningnya yang basah dengan gerakan tangan bergetar. Sementara yang lain hanya bisa diam, tidak ada yang sanggup dikeluarkan selain kata 'Mustahil' mirip milik Fajar.
“Bunuh diri, aku tidak menyangka dia akan bunuh diri.”
"Ini salahmu Rida. Seandainya saja kamu tidak keterlaluan padanya," Fajar mulai menyalahkan Rida.
"Aku? Bukannya Ana yang menyuruhnya pergi ke neraka. Dia tulis dengan spidol hitam tebal di dahinya."
"Kamu yang menyiksanya, kamu terlalu kasar padanya."
Aku hanya terdiam menyaksikan ketiga sahabatku saling menyalahkan satu sama lain, menyudutkan, saling menunjuk hidung sahabatnya sendiri.
Tapi aku tidak peduli. Wajahnya masih sekelebat hinggap tak mau pergi. Inikah pesan yang ingin kamu sampaikan?
Marrie. Tidak ku sangka pada akhirnya kamu memilih untuk pergi.
Dari jauh dapat kulihat Rida dan Fajar berlari ke arahku dengan wajah gusar, tanpa kata-kata mereka menarikku. Dengan iman kuserahkan langkah kakiku kemana mereka mau membawa.
Ternyata mereka membawaku ke belakang gedung asrama perempuan yang telah ramai oleh kerumunan siswa, ada yang tidak biasa. Di sana sudah berdiri Ana di antara para siswa yang mengitari seseorang yang hanya bisa kulihat dari kakinya saja.
Ana melihatku sekilas ketika mataku. menyiratkan ‘Apa yang terjadi?’ dan mata Ana menjawabnya dengan membuang pandang pada sosok seorang gadis yang bergantung.
“Astaghfirullah,” bisikku. tak sanggup menyaksikan pemandangan itu.
Aku merangsek keluar dari kerumunan, diikuti Fajar, Ana dan Rida. Merapat ke sebuah got. Kubuang seluruh isi lambungku.
Hoek. Hoek. Grrr. Tak keluar apa-apa dan baru teringat bahwa perutku belum terisi apapun kecuali secangkir teh manis bikinan Rida yang ku curi secara diam-diam tadi pagi.
Aku masih mengingat wajahnya. Rambut merah yang selalu dikuncir kuda. Tingginya yang melebihi postur normal orang Indonesia dan tubuhnya yang kelewat kurus membuatnya mudah untuk dikenali. Mungkin karena aku memandang dia seperti jerapah sementara kami hanya kurcaci bila dibandingkan dengannya.
Aku masih ingat pertemuan terakhir kami yang terjadi tidak lebih dari 24 jam lalu. Di sebuah gudang tua, pengap dan lembap. Sebuah ruangan tempat menyimpan kursi dan meja yang rusak.
"I don't expect you to find me," Dia duduk di sudut ruangan dengan kedua kaki yang ditekuk dan wajahnya dibenamkan di antara kedua dengkulnya. Rambut kuncir kudanya tergerai berantakan dan sekujur tubuhnya basah.
"Kamu ngilang dari pagi, satu Sekolah nyariin kamu. Kamu ke mana saja seharian ini?"
"Apa tujuan hidupmu?" dia malah menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan.
"I don't know. I Just live," jawabku ragu-ragu.
"How lucky. Kamu nggak perlu tahu tujuan hidup kamu."
"Menurutku itu bukan sebuah keberuntungan. Hanya saja.." aku terhenti sejenak. Sedang memikirkan kalimat berikutnya.
"Apa tujuan hidupmu?"
"Is that your favorite mode of questioning or what? Nanya gitu terus daritadi."
Aku mulai jengkel padanya yang terus-terusan menanyakan tentang kehidupan. Aku sendiri masih belum tahu tujuan hidupku untuk apa?
"Setiap hari aku menjadi saksi betapa manusia harus hidup untuk menyenangkan orang lain. Bahkan untuk sekedar tersenyum dan menyapa ketika mereka berjalan di depan kita. Kalau tidak, bakal seperti ini jadinya," dia mengangkat kepalanya.
"Apa yang telah terjadi?" aku terperanjat. Kaget bukan kepalang melihat wajahnya dipenuhi warna biru. Lebam. Ada bercak darah kering di sekitar hidung dan bibirnya. Tapi dari semua itu, yang paling membuatku tertarik adalah sebuah tulisan di keningnya, 'Go to hell'.
"Aku pikir teman-temanmu tahu jawabannya."
Dia kembali membenamkan wajahnya. Mungkin karena malu.
"I envy you. I wish I had the same privelege."
Berada di kantin. Duduk dengan wajah gusar bersama Fajar, Ana dan Rida dengan wajah yang tak kalah gusarnya.
“Tidak mungkin,” Bisik Fajar. Wajahnya pucat pasi. Berkali-kali dia mengusap keningnya yang basah dengan gerakan tangan bergetar. Sementara yang lain hanya bisa diam, tidak ada yang sanggup dikeluarkan selain kata 'Mustahil' mirip milik Fajar.
“Bunuh diri, aku tidak menyangka dia akan bunuh diri.”
"Ini salahmu Rida. Seandainya saja kamu tidak keterlaluan padanya," Fajar mulai menyalahkan Rida.
"Aku? Bukannya Ana yang menyuruhnya pergi ke neraka. Dia tulis dengan spidol hitam tebal di dahinya."
"Kamu yang menyiksanya, kamu terlalu kasar padanya."
Aku hanya terdiam menyaksikan ketiga sahabatku saling menyalahkan satu sama lain, menyudutkan, saling menunjuk hidung sahabatnya sendiri.
Tapi aku tidak peduli. Wajahnya masih sekelebat hinggap tak mau pergi. Inikah pesan yang ingin kamu sampaikan?
Marrie. Tidak ku sangka pada akhirnya kamu memilih untuk pergi.
Wah bisa repot kalau saling salah-menyalahkan seperti ini. Selain persahabatan bisa hancur dan bisa berakibat fatal bagi yang merasa di pojokkan.
ReplyDeleteOh, jadi novi yang nyolong teh rida tadi pagi? btw itu teh sebulan yang lalu loh... enakkan??
ReplyDelete*apa sih ini*
Pantesan novi muntah muntah habis minum teh nya ya, om wkwkwk
Delete