Dengan malas aku masuk ke dalam kamar kost, menaiki sebuah tangga satu-persatu, tungkaiku sudah tak kuat lagi mengayuh. Lembur lagi. Hah... sampai kapan aku hanya bisa terjebak dalam rutinitas harian masyarakat urban? Seketika aku membanting tubuhku ke tempat tidur, sembari menatap langit kamar, senyap-senyap masih ku ingat sedikit kenangan 10 tahun lalu yang membuat paru-paruku mengembang saat mengingatnya lagi.
Terakhir kali. Kapan terakhir kalinya aku tersenyum seperti dalam kenangan yang seakan diputar ulang di otakku? Rasanya sudah lama sekali. Setelah kejadian hari itu hidupku kini seperti sebuah memori semu mirip CD kosong yang tidak ada isinya.
Tepat pukul 7 pagi sudah sampai di kantor dan tak jarang pulang hampir larut malam, ketika akhir pekan hanya ku habiskan untuk tidur seharian. Nyaris tak ada teman. Aku benar-benar hidup cuma sendiri. Terlebih suasana rumah yang hanya berbau pertengkaran sepanjang hari membuatku malas pulang, walaupun jarak kantor dan rumah yang hanya satu jam perjalanan, aku memilih tinggal di kamar kost sempit dengan alasan menghemat waktu tempuh. Hingga tak jarang tiga bulan sekali aku pulang.
Tiba-tiba terdengar lantunan lagu IU yang bertajuk L’Amant, membuatku bangkit dan meraih ponsel yang berada di meja samping tempat tidurku. Panggilan dari nomor tak di kenal. Ragu tiba-tiba hinggap. Jari jempolku sudah hampir mengarah ke tombol merah namun tiba-tiba secara tak terduga memencet tombol hijau, sekali lagi dengan ragu kuletakkan di telinga kiriku, ketika aku bertanya.
“Halo, ini siapa?” dan terdengar dua suara dari seberang.
“Anggi.”
***
Aku berdiri di hadapan sebuah bangunan yang dulunya sangat megah dan kokoh, namun sekarang yang tersisa hanya puing dan reruntuhan. Di tempat inilah dulu aku dibesarkan. Aku berjalan menyisiri setiap sudut puing kehancuran yang sontak membuat jantungku serasa hancur juga. Jerit dan tangis malam itu tiba-tiba kembali terdengar sayup-sayup dan sekelebat gambaran ketika kami berlari ketakutan menghindari jilatan api. Aku masih ingat betul ketika Fajar membimbingku, Rida dan Ana untuk keluar terlebih dahulu, sementara Fajar kembali kedalam guna menyusul Ega dan Novi.
“Tetap saling berpegangan tangan dan keluarlah lewat celah itu!” seru Fajar. “Dan jangan sampai terpisah,” tambahnya sembari mendorong tubuh kami bertiga.
“Lantas bagaimana denganmu?” Tanyaku.
“Aku akan menyusul Ega dan Novi, sepertinya mereka terjebak di lantai dua.”
“Kalau begitu aku ikut,” seru Ana.
“Aku juga,” sahut Rida.
“Tidak. Kalian harus keluar.”
“Tapi bukankah kita harus terus bersama? Bukankah itu yang mereka ajarkan pada kita?”
Api semakin membesar dan dan nyaris menjilati tubuhku dengan hawa panasnya. Fajar menggenggam tanganku dan menyatukannya dengan tangan Rida dan Ana.
“Kita akan terus bersama,” dia menatap lekat mata kami untuk terakhir kali dan mendorong kami keluar melewati celah, hingga kami saksikan dia menghilang dalam kobaran api.
Kami bertiga berdiri menyaksikan gedung megah itu diselimuti merahnya api, dengan masih berpegangan tangan kecemasan menyelimuti seluruh perasaanku yang mungkin besarnya melebihi api ini. Hingga terdengar suara ledakan yang sepertinya berasal dari dapur di lantai dasar. Sontak Rida menangis dan menangkupkan wajahnya di bahuku.
Ada satu keyakinan yang kuperoleh dari sorot mata Fajar, aku yakin dia pasti akan kembali membawa Ega dan Novi bersamanya. Sebuah harapan besar yang aku letakkan di pundak Fajar karena aku yakin dia pasti bisa menepati janjinya.
Asrama kami berada di lantai dua, tapi tangganya terlihat rusak dan nyaris hancur. Dengan perlaan dan sangat hati-hati aku mencoba menaiki satu persatu anak tangga hingga akhirnya sampai di lantai dua.
Dulu ada sebuah gambar kanguru lucu bikinan Ana yang tertempel di pintu asrama kami. Gambar itu pun juga sudah lenyap, cuma ada pintu yang hanya tinggal setengahnya saja. Perasaanku campur aduk ketika memasuki ruangan ini. Sebuah ruangan yang cukup luas untuk kami berenam. Asrama ini hanya terdiri dari tiga ruangan, begitu masuk akan tiba di ruang istirahat dengan sebuah sofa panjang yang empuk menghadap televisi. Aku mendesah. Di ruangan ini tempat kami biasa melepas lelah sebelum benar-benar bersemayam dalam mimpi, atau tempat sekadar berkumpul menonton teve sambil berdiskusi. Hanya aku, Fajar dan Ega yang paling sering menghabiskan waktu dengan menonton sinema tengah malam.
Di sebelah kiri ruangan ini terdapat kamar perempuan, sedangkan kamar laki-laki terletak di sebelah kanan. Ada perasaan asing hinggap ketika aku kembali menjejakkan kaki di kamar yang dulu ku tempati bersama Rida, Ana dan Novi. Hanya ada dua tempat tidur dengan satu ranjang susun. Aku tidur di ranjang atas, sedangkan Rida berada di bawahku dan Ana tidur satu ranjang dengan Novi.
Masih teringat jelas ketika Rida yang sering marah-marah karena terganggu tidurnya oleh suaraku yang berisik karena tidak bisa tertidur. Hingga tak jarang Rida menendang ranjangku dari bawah supaya aku berhenti membuat suara, yang akhirnya membuatku memutuskan keluar kamar untuk nonton teve bersama Ega dan Fajar.
Hmnm… Banyak kenangan indah yang sudah ku lewatkan disini. Perlahan aku meremas selembar foto enam anak manusia dengan latar belakang dan alasan berbeda yang pada akhirnya membuat kami terdampar di tempat ini membuat kami terikat satu sama lain dan saling menggenapi.
Dari atas balkon lantai dua aku dapat melihat taman belakang gedung ini, tempat di malam aku, Rida dan Ana dengan cemas menunggu Fajar menyelamatkan Ega dan Novi. Seperti menonton dvd kejadian itu dengan jelas terputar kembali.
Setelah terjadi ledakan yang sepertinya berasal dari arah dapur, banyak yang berlari berhamburan menjauh. Sedangkan aku, Rida dan Ana saling berpelukan menangis bersama tanpa menggeser kaki selangkahpun meski api sudah mulai mendekat dan panas terasa jelas. Jangan tanyakan di mana pengurus panti asuhan ini. Mereka tentu sibuk menyelamatkan penghuni panti lain yang masih banyak terjebak di dalam gedung. Tentu tidak akan ada yang menyangka hal ini akan terjadi. Tempat kami sama-sama terdampar dan dibesarkan, hangus terlalap api hanya dalam waktu semalam.
Hingga samar-samar aku melihat tiga orang keluar dengan sempoyongan muncul dari balik api. Dan aku benar-benar yakin ketika mendengar Ana berteriak, meneriakkan nama Fajar, Ega dan Novi. Kami hendak berlari mengahmpiri mereka namun langkah kami terhenti ketika seseorang meraih tubuh kami menjauh dari tempat itu. Suara sirine mobil pemadam kebakaran maraung-raung dan pria-pria berseragam oranye berlari berhamburan menyerbu api.
Lalu kami dipaksa naik ke dalam bus warna-warni yang akan membawa kami jauh dari tempat ini. Situasi yang kacau membuat kami terpisah. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Rida dan Ana apalagi menanyakan keadaan Fajar, Ega ataupun Novi yang kala itu jelas terlihat terluka. Hanya dengan mengenakan celana pendek dan t-shirt, tanpa sempat menyelamatkan barang-barangku yang mungkin kini telah hangus terlalap api, aku naik ke sebuah bus berwarna biru bersama beberapa anak lain. Perlahan aku merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar foto, satu-satunya benda yang berhasil ku selamatkan. Aku menyambarnya begitu orang-orang berteriak 'KEBAKARAN'. Selembar foto kami yang diambil saat melakukan perjalanan. wisata ke museum purba.
Foto pertama dan satu satunya. Sebenarnya sudah ada rencana untuk membeli bingkai supaya foto tersebut dapat di letakkan di ruang istirahat, di meja samping televisi. Namun kini semua hanya tinggal rencana.
Setelah kejadian malam itu tak ada satupun aku mendapat kabar tentang mereka. Satu-persatu kami dikirim ke panti asuhan lain dan hanya butuh tak kurang dari enam bulan buatku. untuk menemukan keluarga baru. Tanpa mereka aku merasa bukan apa-apa. Dalam segala kekurangan dan kelebihan kami saling mengisi dan menggenapi. Aku merasa bukan aku yang sesungguhnya tanpa mereka. Sampai saat ini pun aku masih berharap dapat kembali bertemu untuk saling melengkapi.
“Anggi.”
Suara yang sudah tak asing lagi memanggil membuatku tersadar dari mimpi yang sedari tadi ku telusuri demi menemukan jawaban supaya menjadi genap. Dari bawah terlihat dua sosok yang telah lama ku rindu melambaikankan tangannya. Ega dan Novi langkah awal untuk menggenapinya, tinggal menemukan tiga nyawa yang tersisa barulah. menjadi sempurna.
Terakhir kali. Kapan terakhir kalinya aku tersenyum seperti dalam kenangan yang seakan diputar ulang di otakku? Rasanya sudah lama sekali. Setelah kejadian hari itu hidupku kini seperti sebuah memori semu mirip CD kosong yang tidak ada isinya.
Tepat pukul 7 pagi sudah sampai di kantor dan tak jarang pulang hampir larut malam, ketika akhir pekan hanya ku habiskan untuk tidur seharian. Nyaris tak ada teman. Aku benar-benar hidup cuma sendiri. Terlebih suasana rumah yang hanya berbau pertengkaran sepanjang hari membuatku malas pulang, walaupun jarak kantor dan rumah yang hanya satu jam perjalanan, aku memilih tinggal di kamar kost sempit dengan alasan menghemat waktu tempuh. Hingga tak jarang tiga bulan sekali aku pulang.
Tiba-tiba terdengar lantunan lagu IU yang bertajuk L’Amant, membuatku bangkit dan meraih ponsel yang berada di meja samping tempat tidurku. Panggilan dari nomor tak di kenal. Ragu tiba-tiba hinggap. Jari jempolku sudah hampir mengarah ke tombol merah namun tiba-tiba secara tak terduga memencet tombol hijau, sekali lagi dengan ragu kuletakkan di telinga kiriku, ketika aku bertanya.
“Halo, ini siapa?” dan terdengar dua suara dari seberang.
“Anggi.”
Aku berdiri di hadapan sebuah bangunan yang dulunya sangat megah dan kokoh, namun sekarang yang tersisa hanya puing dan reruntuhan. Di tempat inilah dulu aku dibesarkan. Aku berjalan menyisiri setiap sudut puing kehancuran yang sontak membuat jantungku serasa hancur juga. Jerit dan tangis malam itu tiba-tiba kembali terdengar sayup-sayup dan sekelebat gambaran ketika kami berlari ketakutan menghindari jilatan api. Aku masih ingat betul ketika Fajar membimbingku, Rida dan Ana untuk keluar terlebih dahulu, sementara Fajar kembali kedalam guna menyusul Ega dan Novi.
“Tetap saling berpegangan tangan dan keluarlah lewat celah itu!” seru Fajar. “Dan jangan sampai terpisah,” tambahnya sembari mendorong tubuh kami bertiga.
“Lantas bagaimana denganmu?” Tanyaku.
“Aku akan menyusul Ega dan Novi, sepertinya mereka terjebak di lantai dua.”
“Kalau begitu aku ikut,” seru Ana.
“Aku juga,” sahut Rida.
“Tidak. Kalian harus keluar.”
“Tapi bukankah kita harus terus bersama? Bukankah itu yang mereka ajarkan pada kita?”
Api semakin membesar dan dan nyaris menjilati tubuhku dengan hawa panasnya. Fajar menggenggam tanganku dan menyatukannya dengan tangan Rida dan Ana.
“Kita akan terus bersama,” dia menatap lekat mata kami untuk terakhir kali dan mendorong kami keluar melewati celah, hingga kami saksikan dia menghilang dalam kobaran api.
Kami bertiga berdiri menyaksikan gedung megah itu diselimuti merahnya api, dengan masih berpegangan tangan kecemasan menyelimuti seluruh perasaanku yang mungkin besarnya melebihi api ini. Hingga terdengar suara ledakan yang sepertinya berasal dari dapur di lantai dasar. Sontak Rida menangis dan menangkupkan wajahnya di bahuku.
Ada satu keyakinan yang kuperoleh dari sorot mata Fajar, aku yakin dia pasti akan kembali membawa Ega dan Novi bersamanya. Sebuah harapan besar yang aku letakkan di pundak Fajar karena aku yakin dia pasti bisa menepati janjinya.
Asrama kami berada di lantai dua, tapi tangganya terlihat rusak dan nyaris hancur. Dengan perlaan dan sangat hati-hati aku mencoba menaiki satu persatu anak tangga hingga akhirnya sampai di lantai dua.
Dulu ada sebuah gambar kanguru lucu bikinan Ana yang tertempel di pintu asrama kami. Gambar itu pun juga sudah lenyap, cuma ada pintu yang hanya tinggal setengahnya saja. Perasaanku campur aduk ketika memasuki ruangan ini. Sebuah ruangan yang cukup luas untuk kami berenam. Asrama ini hanya terdiri dari tiga ruangan, begitu masuk akan tiba di ruang istirahat dengan sebuah sofa panjang yang empuk menghadap televisi. Aku mendesah. Di ruangan ini tempat kami biasa melepas lelah sebelum benar-benar bersemayam dalam mimpi, atau tempat sekadar berkumpul menonton teve sambil berdiskusi. Hanya aku, Fajar dan Ega yang paling sering menghabiskan waktu dengan menonton sinema tengah malam.
Di sebelah kiri ruangan ini terdapat kamar perempuan, sedangkan kamar laki-laki terletak di sebelah kanan. Ada perasaan asing hinggap ketika aku kembali menjejakkan kaki di kamar yang dulu ku tempati bersama Rida, Ana dan Novi. Hanya ada dua tempat tidur dengan satu ranjang susun. Aku tidur di ranjang atas, sedangkan Rida berada di bawahku dan Ana tidur satu ranjang dengan Novi.
Masih teringat jelas ketika Rida yang sering marah-marah karena terganggu tidurnya oleh suaraku yang berisik karena tidak bisa tertidur. Hingga tak jarang Rida menendang ranjangku dari bawah supaya aku berhenti membuat suara, yang akhirnya membuatku memutuskan keluar kamar untuk nonton teve bersama Ega dan Fajar.
Hmnm… Banyak kenangan indah yang sudah ku lewatkan disini. Perlahan aku meremas selembar foto enam anak manusia dengan latar belakang dan alasan berbeda yang pada akhirnya membuat kami terdampar di tempat ini membuat kami terikat satu sama lain dan saling menggenapi.
Dari atas balkon lantai dua aku dapat melihat taman belakang gedung ini, tempat di malam aku, Rida dan Ana dengan cemas menunggu Fajar menyelamatkan Ega dan Novi. Seperti menonton dvd kejadian itu dengan jelas terputar kembali.
Setelah terjadi ledakan yang sepertinya berasal dari arah dapur, banyak yang berlari berhamburan menjauh. Sedangkan aku, Rida dan Ana saling berpelukan menangis bersama tanpa menggeser kaki selangkahpun meski api sudah mulai mendekat dan panas terasa jelas. Jangan tanyakan di mana pengurus panti asuhan ini. Mereka tentu sibuk menyelamatkan penghuni panti lain yang masih banyak terjebak di dalam gedung. Tentu tidak akan ada yang menyangka hal ini akan terjadi. Tempat kami sama-sama terdampar dan dibesarkan, hangus terlalap api hanya dalam waktu semalam.
Hingga samar-samar aku melihat tiga orang keluar dengan sempoyongan muncul dari balik api. Dan aku benar-benar yakin ketika mendengar Ana berteriak, meneriakkan nama Fajar, Ega dan Novi. Kami hendak berlari mengahmpiri mereka namun langkah kami terhenti ketika seseorang meraih tubuh kami menjauh dari tempat itu. Suara sirine mobil pemadam kebakaran maraung-raung dan pria-pria berseragam oranye berlari berhamburan menyerbu api.
Lalu kami dipaksa naik ke dalam bus warna-warni yang akan membawa kami jauh dari tempat ini. Situasi yang kacau membuat kami terpisah. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada Rida dan Ana apalagi menanyakan keadaan Fajar, Ega ataupun Novi yang kala itu jelas terlihat terluka. Hanya dengan mengenakan celana pendek dan t-shirt, tanpa sempat menyelamatkan barang-barangku yang mungkin kini telah hangus terlalap api, aku naik ke sebuah bus berwarna biru bersama beberapa anak lain. Perlahan aku merogoh saku celana dan mengeluarkan selembar foto, satu-satunya benda yang berhasil ku selamatkan. Aku menyambarnya begitu orang-orang berteriak 'KEBAKARAN'. Selembar foto kami yang diambil saat melakukan perjalanan. wisata ke museum purba.
Foto pertama dan satu satunya. Sebenarnya sudah ada rencana untuk membeli bingkai supaya foto tersebut dapat di letakkan di ruang istirahat, di meja samping televisi. Namun kini semua hanya tinggal rencana.
Setelah kejadian malam itu tak ada satupun aku mendapat kabar tentang mereka. Satu-persatu kami dikirim ke panti asuhan lain dan hanya butuh tak kurang dari enam bulan buatku. untuk menemukan keluarga baru. Tanpa mereka aku merasa bukan apa-apa. Dalam segala kekurangan dan kelebihan kami saling mengisi dan menggenapi. Aku merasa bukan aku yang sesungguhnya tanpa mereka. Sampai saat ini pun aku masih berharap dapat kembali bertemu untuk saling melengkapi.
“Anggi.”
Suara yang sudah tak asing lagi memanggil membuatku tersadar dari mimpi yang sedari tadi ku telusuri demi menemukan jawaban supaya menjadi genap. Dari bawah terlihat dua sosok yang telah lama ku rindu melambaikankan tangannya. Ega dan Novi langkah awal untuk menggenapinya, tinggal menemukan tiga nyawa yang tersisa barulah. menjadi sempurna.
Banyuwangi, 24 mei 2016
Cerita ini membuatku jadi berkaca pada diri sendiri. Lama kerja bisa memuat jadi kehilangan waktu buat santai. Tapi yang namanya cari duit itu ya harus dijalani biar ada penghasilan. Haha.
ReplyDeletekita ketemu lagi disini yah :)
ReplyDeleteCerita ini kiSah nyata Mbak Anggi?
ReplyDeleteSetelah saya baca cerita ini saya seperti bercermin pada diri saya sendiri, dimana saya harus pergi pagi pulang malam untuk kerja. Hingga akhirnya tak banyak ada waktu lagi untuk bercanda ria bersama teman lagi.
ReplyDeleteSungguh cerita yg sangat menyentuh, tp syangnya sdang seru"nya membaca, eh malah selesai.
ReplyDeleteceritanya menyedihkan, huhuhu:(
ReplyDelete