Lampu sorot besar yang diletakkan di atas ubun-ubun kepala menonjolkan setiap lekuk tubuh kurusnya, bertelanjang dada dan hanya berbalut celana panjang berwarna hitam. Jangan memandangnya rendah hanya karena postur tubuhnya yang mungil dan kecil.
Tapi sorot matanya yang dingin dan membunuh menyiratkan arena pertarungan sebagai pelampiasan. Dia bertarung bukan untuk uang, tapi lebih ke keingintahuan akan batas sublimasi egonya. Dan selamanya dia akan berada di ring ini. Bertarung atau mati.
Sedangkan lawannya kali ini adalah pria penuh guratan tanda kejantanan. Tubuh itu kekar dan wajahnya sangar. Dengan langkah perlahan namun pasti pria itu memasuki arena pertarungan, kemudian menunduk memberikan salam pertarungan, dia pun membalasnya dengan menunduk juga.
"Jangan pergi Bara, jangan tinggalkan Ibu sendiri," tiba-tiba saja Bara terngiang pesan Ibu sebelum dia pergi.
Lonceng dipukul sebanyak tiga kali, menandakan pertarungan telah dimulai. Lawannya, pria berwajah kekar dan sangar itu berdiri tanpa kuda-kuda, sedangkan Bara telah siap. Dia berdiri dengan sedikit menyerongkan tubuhnya, menekuk kaki kiri dan kanannya dengan kedua tangan berada sejajar dengan dada. Lawannya masih diam mengamati setiap unsur gerakan yang dilakukan Bara.
Tiba-tiba saja Bara mengangkat kaki kiri, sementara kaki kanannya digunakan sebagai tumpuan dan mengarahkan kaki kiri ke depan. Sasarannya adalah ulu hati. Tapi ternyata dengan sigap lawannya mengelak dari tendangan Bara, dia melompat mundur dan mendarat dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda siaga.
Berikutnya kaki-kaki pria itu itu membentuk pu bu, tangannya mengembang luas ke arah belakang. Dia menatap Bara tajam. Pria itu sedang mengintimidasinya, memberi tahu Bara bahwa dia adalah ahli wushu.
Pria itu melancarkan tendangan berputar yang menghamtam pipi kanan Bara, kurang puas masih ditambah gerakan menendang dari bawah yang mencelatkan dagunya. Perih dia rasakan. Asin. Darah segar mengalir dari sela bibirnya. Kali ini lawannya bukan manusia biasa.
Bara terjengkang ke belakang dan hampir jatuh, namun karena mendarat tanpa kuda-kuda dia menjadi sasaran empuk. Lawannya kembali memberi serangan, lagi-lagi sebuah tendangan berputar ganda merobek udara membuat Bara terpelating dan jatuh ke lantai.
Pria itu mendekati Bara dan meludah ke wajahnya.
"Ayo bangun pecundang!" Pria itu menghujam perut Bara dengan kakinya membuat Bara menggeliat kesakitan.
"Jangan pergi Bara," kembali kalimat Ibunya terngiang di telinga.
Lampu besar yang berpendar menusuk mata membuat matanya terpaksa terpejam. Dan bayangan Ibu samar-samar muncul enggan berlalu.
Kapan terakhir kali dia berbicara pada Ibu. Baginya rumah hanyalah tempat singgah. Pergi pagi dan pulang larut malam.
"Jangan pergi, temani Ibu di rumah," Ibunya selalu merajuk setiap kali dia menginjak kaki keluar rumah. Tapi bagi Bara rumah hanyalah neraka yang hanya akan membuat api semakin membara.
Semenjak Ayahnya selingkuh dan meninggalkan Ibu, sebab Ibunya lumpuh setelah menyelamatkan dia yang hampir saja terserempet motor.
Apalagi yang tersisa untuknya, selain mengutuk dan membenci diri sendiri.
"Amarah hanya akan membakarmu sia-sia," terngiang lagi kalimat sang Ibu. Dia masih belum mengerti bagaimana bisa Ibunya menerima dan sabar dengan hidupnya. Setiap kali melihat wajah Ibu, dia diserang rasa bersalah yang luar biasa. Dia tidak bisa berlama-lama di rumah. Sebelum bara dan kebencian itu dia padamkan.
Bara membuka matanya, seperti terbangun dari mimpi di pagi hari. Dia melihat wajah pria itu sekilas lalu digenggamnya erat-erat telapak kaki yang menggilas perutnya kemudian dia tolakkan sekencang-kecangnya sehingga terdengar suara debuman. Pria itu terjengkang.
Bara bangkit. Berdiri tegak. Bara melayangkan kaki kanan tinggi-tinggi menghantam bak gunting mendarat tepat di bahunya, membuat lawannya jatuh berlutut tapi secepat kilat bangkit kemudian menghamburkan pukulan jarak dekat ke segala arah. Bara berhasil menangkis dan membalas pukulannya dengan mendaratkan tinju ke dada tiga kali kemudian ulu hati jadi sasaran utama dan pria itu kehilangan tenaga.
Bara tidak mau kehilangan kesempatan emas, sambil berteriak Bara melayangkan tendangan kencang di atas dadanya, kedua kakinya terus menderap bagai rentetan meriam hingga akhirnya pria itu pun putus asa dan jatuh lemas di lantai.
Wasit masuk dalam ring dan mulai menghitung ditutup sorak sorai penonton ketika pada hitungan kesepuluh pria itu tidak bangkit juga.
Seketika semua jawaban seolah datang. Jawaban yang membawanya terperangkap di sini atau mati. Dia baru mengerti bahwa api tidak bisa dilawan dengan api, jika tidak ingin terbakar dalam bara. Dia harus memadamkannya dan mulai memaafkan. Dia harus memadamkan api dalam dirinya untuk dapat menerima yang telah ditakdirkan oleh Pemilik Segala.
Tapi sorot matanya yang dingin dan membunuh menyiratkan arena pertarungan sebagai pelampiasan. Dia bertarung bukan untuk uang, tapi lebih ke keingintahuan akan batas sublimasi egonya. Dan selamanya dia akan berada di ring ini. Bertarung atau mati.
Sedangkan lawannya kali ini adalah pria penuh guratan tanda kejantanan. Tubuh itu kekar dan wajahnya sangar. Dengan langkah perlahan namun pasti pria itu memasuki arena pertarungan, kemudian menunduk memberikan salam pertarungan, dia pun membalasnya dengan menunduk juga.
"Jangan pergi Bara, jangan tinggalkan Ibu sendiri," tiba-tiba saja Bara terngiang pesan Ibu sebelum dia pergi.
Lonceng dipukul sebanyak tiga kali, menandakan pertarungan telah dimulai. Lawannya, pria berwajah kekar dan sangar itu berdiri tanpa kuda-kuda, sedangkan Bara telah siap. Dia berdiri dengan sedikit menyerongkan tubuhnya, menekuk kaki kiri dan kanannya dengan kedua tangan berada sejajar dengan dada. Lawannya masih diam mengamati setiap unsur gerakan yang dilakukan Bara.
Tiba-tiba saja Bara mengangkat kaki kiri, sementara kaki kanannya digunakan sebagai tumpuan dan mengarahkan kaki kiri ke depan. Sasarannya adalah ulu hati. Tapi ternyata dengan sigap lawannya mengelak dari tendangan Bara, dia melompat mundur dan mendarat dengan kedua kaki membentuk kuda-kuda siaga.
Berikutnya kaki-kaki pria itu itu membentuk pu bu, tangannya mengembang luas ke arah belakang. Dia menatap Bara tajam. Pria itu sedang mengintimidasinya, memberi tahu Bara bahwa dia adalah ahli wushu.
Pria itu melancarkan tendangan berputar yang menghamtam pipi kanan Bara, kurang puas masih ditambah gerakan menendang dari bawah yang mencelatkan dagunya. Perih dia rasakan. Asin. Darah segar mengalir dari sela bibirnya. Kali ini lawannya bukan manusia biasa.
Bara terjengkang ke belakang dan hampir jatuh, namun karena mendarat tanpa kuda-kuda dia menjadi sasaran empuk. Lawannya kembali memberi serangan, lagi-lagi sebuah tendangan berputar ganda merobek udara membuat Bara terpelating dan jatuh ke lantai.
Pria itu mendekati Bara dan meludah ke wajahnya.
"Ayo bangun pecundang!" Pria itu menghujam perut Bara dengan kakinya membuat Bara menggeliat kesakitan.
"Jangan pergi Bara," kembali kalimat Ibunya terngiang di telinga.
Lampu besar yang berpendar menusuk mata membuat matanya terpaksa terpejam. Dan bayangan Ibu samar-samar muncul enggan berlalu.
Kapan terakhir kali dia berbicara pada Ibu. Baginya rumah hanyalah tempat singgah. Pergi pagi dan pulang larut malam.
"Jangan pergi, temani Ibu di rumah," Ibunya selalu merajuk setiap kali dia menginjak kaki keluar rumah. Tapi bagi Bara rumah hanyalah neraka yang hanya akan membuat api semakin membara.
Semenjak Ayahnya selingkuh dan meninggalkan Ibu, sebab Ibunya lumpuh setelah menyelamatkan dia yang hampir saja terserempet motor.
Apalagi yang tersisa untuknya, selain mengutuk dan membenci diri sendiri.
"Amarah hanya akan membakarmu sia-sia," terngiang lagi kalimat sang Ibu. Dia masih belum mengerti bagaimana bisa Ibunya menerima dan sabar dengan hidupnya. Setiap kali melihat wajah Ibu, dia diserang rasa bersalah yang luar biasa. Dia tidak bisa berlama-lama di rumah. Sebelum bara dan kebencian itu dia padamkan.
Bara membuka matanya, seperti terbangun dari mimpi di pagi hari. Dia melihat wajah pria itu sekilas lalu digenggamnya erat-erat telapak kaki yang menggilas perutnya kemudian dia tolakkan sekencang-kecangnya sehingga terdengar suara debuman. Pria itu terjengkang.
Bara bangkit. Berdiri tegak. Bara melayangkan kaki kanan tinggi-tinggi menghantam bak gunting mendarat tepat di bahunya, membuat lawannya jatuh berlutut tapi secepat kilat bangkit kemudian menghamburkan pukulan jarak dekat ke segala arah. Bara berhasil menangkis dan membalas pukulannya dengan mendaratkan tinju ke dada tiga kali kemudian ulu hati jadi sasaran utama dan pria itu kehilangan tenaga.
Bara tidak mau kehilangan kesempatan emas, sambil berteriak Bara melayangkan tendangan kencang di atas dadanya, kedua kakinya terus menderap bagai rentetan meriam hingga akhirnya pria itu pun putus asa dan jatuh lemas di lantai.
Wasit masuk dalam ring dan mulai menghitung ditutup sorak sorai penonton ketika pada hitungan kesepuluh pria itu tidak bangkit juga.
Seketika semua jawaban seolah datang. Jawaban yang membawanya terperangkap di sini atau mati. Dia baru mengerti bahwa api tidak bisa dilawan dengan api, jika tidak ingin terbakar dalam bara. Dia harus memadamkannya dan mulai memaafkan. Dia harus memadamkan api dalam dirinya untuk dapat menerima yang telah ditakdirkan oleh Pemilik Segala.
Dlm cerita, Api hanya akan padam setelah bara melampiaskan amarahnya, namun bara akan lebih hebat jika mampu memadamkan api tanpa amarah, misalnya pakai air hehe
ReplyDeleteOrangnya kecil tapi mampu mengalahkan pria berbadan kekar, jadi terbanyang flem kungfu cina.
ReplyDeleteDalam cerita ini saya mengambil hikmahnya, yaitu kemarahan jangan dilawan dengan kemarahan.
ReplyDeleteKemarahan lawanlah dengan hati yang tenang maka kemenangan akan didapatnya dengan gemilang.๐
Dalam cerita ini saya mengambil hikmahnya, yaitu kemarahan jangan dilawan dengan kemarahan.
ReplyDeleteKemarahan lawanlah dengan hati yang tenang maka kemenangan akan didapatnya dengan gemilang.๐
Nice post gan :-)
ReplyDeleteJadi inget yang dikatakan eyang guru. Amarah adalah api yang membakar satu, dirimu sendiri...
ReplyDeleteBara api akan padam dengan siraman air".
ReplyDeleteItu juga kalau apinya kecil... Hehe ๐
Setelah pertarungan kali ini apakah Bara akan berhenti bertarung dan menemani ibunya di rumah, ataukah ia akan tetap bertarung?
ReplyDeleteSepertinya amarah dan bara akan padam.
amarah sering kali menutup mata
ReplyDeletepadamkan bara dengan memaafkan
ReplyDeleteitu yg bisa saya ambil dari cerita ini
haduh maknanya dalem banget ya sob api jangan dilawan dengan api! takdir bara memang harus ia terima dan memulai kehidupan yang lebih cerah dengan sang ibu lagi ya...!
ReplyDelete