Dia mendengar suara langkah kaki berjalan menaiki anak tangga. Buru-buru dia bersembunyi di bawah tempat tidur. Bukan hanya satu bahkan lebih dari dua orang berjalan menuju lantai dua rumahnya. Mereka memeriksa satu-persatu ruangan dan membuka pintu dengan sedikit kasar.
"Kali ini aku pasti mati, aku tidak mau masuk penjara," batinnya dalam hati. Hanya ada tiga ruangan di lantai ini dan ruangan tempat dia bersembunyi berada di paling ujung. Tinggal menunggu waktu sampai mereka tiba dan menemukannya.
"Aku tidak membunuhnya. Aku bukan seorang pembunuh," mulutnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Dua telapak tangan penuh darah segar itu bergetar, bahkan dia masih memegang pisau yang juga berlumuran darah. Dia melemparkannya begitu sadar.
Tidak akan ada yang percaya bahwa ini semua hanya kecelakaan. Dia tidak bermaksud akan menggunakan pisau itu apalagi untuk membunuh.
Kejadian yang terjadi tempo hari ketika pemuda yang selalu menindas dan meminta uang setiap kali dia lewat gang kecil satu-satunya jalan menuju rumah sepulang sekolah, terus memaksa meskipun dia sudah berulang kali bersumpah bahwa dirinya sudah tidak memiliki uang. Tapi kepalan tangan pemuda itu justru mendarat tepat di kelopak matanya.
Saat pemuda itu merampas tas dan memeriksa isinya untuk mengambil apa saja yang ada di dalam tas tersebut, dia mengeluarkan sebilah pisau dapur dari saku celana yang sudah dia persiapkan sejak dari rumah.
Dia mengacungkan pisau ke arah pemuda itu dan mengancam akan menusuknya jika pemuda itu mendekat.
"Ayo tusuk aku kalau kamu berani! Pasti nggak berani kan," pemuda itu tertawa dan melempar tas tepat ke arah wajahnya.
Refleks dia menghindar tapi pemuda itu mengambil kesempatan dengan menendang pergelangan tangannya hingga pisau terjatuh ke tanah. Dia mulai membungkuk berusaha mengambil pisaunya tapi pemuda itu kembali menendangnya kali ini tepat di pinggang hingga tubuhnya jatuh.
Dengan cepat pemuda itu meraih tubuhnya dan mulai memukulnya, dia hanya terbaring di tanah menerima pukulan pemuda itu di seluruh wajah. Sementara tangannya mulai meraih pisau yang hanya berjarak beberapa jengkal dari tubuhnya.
Setelah beberapa menit dia berusaha meraih pisau itu, akhirnya dia dapat mengambilnya dan dan menusukkannya tepat pada perut pemuda itu.
Darah segar mengalir dan mengotori seragam putih abu-abunya. Dia mendorong tubuh pemuda itu ke tanah dan membiarkannya tergeletak merenggut nyawa.
Dengan ketakutan dia berlari cepat menuju rumah hingga tidak memperhatikan jalan ketika ingin menyebrang dan tidak melihat sebuah mobil yang melintas dari arah berlawanan.
Mobil itu berhenti secara mendadak ketika dia dengan ceroboh melompat untuk melewati mobil tersebut.
"Astaga," seru lelaki yang berada di dalam mobil.
Suara langkah kaki itu semakin mendekat sepertinya sudah berada di depan pintu kamarnya. Terdengar mereka berusaha membuka pintu tapi karena terkunci mereka memanggil Ibu untuk membukanya.
Setelah pintu berhasil terbuka tiga orang lelaki bersama Ibu masuk ke dalam kamarnya dan memeriksa sekeliling hingga membuka jendela kamar. Terjadi perbincangan di antara mereka. Beberapa di antaranya menanyakan tentang dirinya dan kegiatannya sehari-hari.
Ibu hanya menjawab tidak tahu sebab dirinya terlalu sibuk sehingga kurang mengenal putranya sendiri.
Tak lama kemudian mereka keluar dari kamar karena salah satu dari mereka mengatakan mencium aroma busuk. Ketiga lelaki itu pergi setelah memberikan kartu nama pada Ibu. Kini saatnya dia keluar dari persembunyian.
Dia berjalan mengendap-endap keluar dari kamar dan memperhatikan sekeliling, siapa tahu orang-orang itu masih berada di sana. Namun dia seperti mendengar suara perempuan menangis dari lantai bawah rumahnya. Suara Ibu. Dia bergegas turun dan berharap Ibu percaya atau mungkin dapat membantunya.
Ibu duduk dengan kedua tangan menutupi wajah menghadap sebuah peti coklat mengkilat.
"Ibu," bisiknya.
Ibu masih menangis di balik telapak tangannya.
Dia berjalan mendekati Ibu namun rasa penasaran membuatnya melempar pandang ke arah peti untuk melihat apa isi di dalamnya. Dia melompat beberapa langkah ke belakang merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tubuhnya berada di dalam peti itu, berbalut kain putih, terbujur kaku.
"Kali ini aku pasti mati, aku tidak mau masuk penjara," batinnya dalam hati. Hanya ada tiga ruangan di lantai ini dan ruangan tempat dia bersembunyi berada di paling ujung. Tinggal menunggu waktu sampai mereka tiba dan menemukannya.
"Aku tidak membunuhnya. Aku bukan seorang pembunuh," mulutnya komat-kamit seperti sedang membaca mantra. Dua telapak tangan penuh darah segar itu bergetar, bahkan dia masih memegang pisau yang juga berlumuran darah. Dia melemparkannya begitu sadar.
Tidak akan ada yang percaya bahwa ini semua hanya kecelakaan. Dia tidak bermaksud akan menggunakan pisau itu apalagi untuk membunuh.
Kejadian yang terjadi tempo hari ketika pemuda yang selalu menindas dan meminta uang setiap kali dia lewat gang kecil satu-satunya jalan menuju rumah sepulang sekolah, terus memaksa meskipun dia sudah berulang kali bersumpah bahwa dirinya sudah tidak memiliki uang. Tapi kepalan tangan pemuda itu justru mendarat tepat di kelopak matanya.
Saat pemuda itu merampas tas dan memeriksa isinya untuk mengambil apa saja yang ada di dalam tas tersebut, dia mengeluarkan sebilah pisau dapur dari saku celana yang sudah dia persiapkan sejak dari rumah.
Dia mengacungkan pisau ke arah pemuda itu dan mengancam akan menusuknya jika pemuda itu mendekat.
"Ayo tusuk aku kalau kamu berani! Pasti nggak berani kan," pemuda itu tertawa dan melempar tas tepat ke arah wajahnya.
Refleks dia menghindar tapi pemuda itu mengambil kesempatan dengan menendang pergelangan tangannya hingga pisau terjatuh ke tanah. Dia mulai membungkuk berusaha mengambil pisaunya tapi pemuda itu kembali menendangnya kali ini tepat di pinggang hingga tubuhnya jatuh.
Dengan cepat pemuda itu meraih tubuhnya dan mulai memukulnya, dia hanya terbaring di tanah menerima pukulan pemuda itu di seluruh wajah. Sementara tangannya mulai meraih pisau yang hanya berjarak beberapa jengkal dari tubuhnya.
Setelah beberapa menit dia berusaha meraih pisau itu, akhirnya dia dapat mengambilnya dan dan menusukkannya tepat pada perut pemuda itu.
Darah segar mengalir dan mengotori seragam putih abu-abunya. Dia mendorong tubuh pemuda itu ke tanah dan membiarkannya tergeletak merenggut nyawa.
Dengan ketakutan dia berlari cepat menuju rumah hingga tidak memperhatikan jalan ketika ingin menyebrang dan tidak melihat sebuah mobil yang melintas dari arah berlawanan.
Mobil itu berhenti secara mendadak ketika dia dengan ceroboh melompat untuk melewati mobil tersebut.
"Astaga," seru lelaki yang berada di dalam mobil.
***
Suara langkah kaki itu semakin mendekat sepertinya sudah berada di depan pintu kamarnya. Terdengar mereka berusaha membuka pintu tapi karena terkunci mereka memanggil Ibu untuk membukanya.
Setelah pintu berhasil terbuka tiga orang lelaki bersama Ibu masuk ke dalam kamarnya dan memeriksa sekeliling hingga membuka jendela kamar. Terjadi perbincangan di antara mereka. Beberapa di antaranya menanyakan tentang dirinya dan kegiatannya sehari-hari.
Ibu hanya menjawab tidak tahu sebab dirinya terlalu sibuk sehingga kurang mengenal putranya sendiri.
Tak lama kemudian mereka keluar dari kamar karena salah satu dari mereka mengatakan mencium aroma busuk. Ketiga lelaki itu pergi setelah memberikan kartu nama pada Ibu. Kini saatnya dia keluar dari persembunyian.
Dia berjalan mengendap-endap keluar dari kamar dan memperhatikan sekeliling, siapa tahu orang-orang itu masih berada di sana. Namun dia seperti mendengar suara perempuan menangis dari lantai bawah rumahnya. Suara Ibu. Dia bergegas turun dan berharap Ibu percaya atau mungkin dapat membantunya.
Ibu duduk dengan kedua tangan menutupi wajah menghadap sebuah peti coklat mengkilat.
"Ibu," bisiknya.
Ibu masih menangis di balik telapak tangannya.
Dia berjalan mendekati Ibu namun rasa penasaran membuatnya melempar pandang ke arah peti untuk melihat apa isi di dalamnya. Dia melompat beberapa langkah ke belakang merasa tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Tubuhnya berada di dalam peti itu, berbalut kain putih, terbujur kaku.
Sepertinya dia pulang kerumah sudah tidak bisa membedakan lagi!
ReplyDeleteKalau dia sebenarnya sudah mati!
kepada neng admin mohon ijin follow blog nya yah
DeleteNah, kira-kira bisa nebak nggak yah dia matinya kenapa.
DeleteUdah aku follow back blognya mang. Coba dicek.
Deleteayo dnk blogku juga di follow, belum ada followernya nh:D
DeleteOh belum aku follow ya blognya. Nanti deh kalau ol pc aku follow blognya. Tp follow back ya :)
DeleteAku bacanya kok lama2 merinding Mbak...
ReplyDeletega ketebak lagi deh. keren !!
jadi yang mengendap-endap keluar kamar sudah ada di dalam peti mati
Deleteoh ya yang tertabak mobil saat kabur melarikan diri setelah menusukkan pisau itu ya
Hayo kira-kira ada yang bisa nebak nggak 'dia' ini matinya gimana???
DeleteMbak maya dikit lagi tuh tebakannya.
oh jadi ini tebak posting berhadiah ? kalo bener hadiahnya apa nih ? hehehe
DeleteNggak dapet apa-apa sih hehehe
Deletedendam pemuda yang dibunuh atau tidak sengaja terbunuh ya mbak fara, membuatnya mati tidak tenang
ReplyDeleteBisa dibilang nggak sengaja terbunuh mas Fajar. Makanya dia nggak nyadar kalau dia udah mati.
Deleteseperti film Ghost yang membumi itu nih kisahnya, saking enaknya jadi manusia beneran (bukan hantu) dia lupa jika dirinya sudah berbeda alam...hiiii celem
ReplyDeleteFilm ghost yang mana ya mang? Kok aku nggak tau hehe
DeleteSetelah membunuh pemuda itu bunuh diri sendiri hingga akhirnya ia hanya melihat dari alam lain.
ReplyDeleteNggak bunuh diri sih mbak. Coba inget lagi, apa yang dialami si 'dia' setelah menusuk pemuda yang suka malakin 'dia' ini.
Deletekalo aku jadi si dia, mending aku langsung lari deh buka peti daripda penasaran
ReplyDeleteYa kalau pas buka petinya tapi ternyata yg di dalam peti tubuh dia sendiri gimana tuh... Serem nggak tuh... Hehe
DeleteWah tetep ngeblog tentang cerita kayak di mwb dulu xD
ReplyDeleteAne cuma lewat aja, kalau bisa kunbal lintas hosting
blogku : http://situsindo.tk