Dual
"There's always two side to every story" |
Side 1 |
Gerimis yang tiba-tiba turun membuatku mempercepat langkah, untung saja sekolah sudah berada di depan mata. Meski aku harus sedikit berlari dan basah begitu sampai di depan gerbang sekolah, tapi pandanganku justru terfokus padanya.
Makin sibuk saja dia sekarang, sepagi ini bahkan sudah berhadapan dengan rapat bersama anggota pengurus mading di depan kelasnya. Wajahnya tampak ceria dan begitu cerewet jika sudah membahas materi untuk madingnya yang terbit setiap hari Senin. Hingga dia tidak menyadari kehadiranku yang melintas di depannya.
"Selamat pagi Arif," sapa salah satu anggota pengurus mading yang duduk di sebelahnya.
Dia yang tadi hanya fokus pada buku yang berada di pangkuannya, refleks mendongakkan kepala begitu namaku disebut salah satu temannya.
"Pagi juga," balasku, tapi pandanganku masih tertuju padanya bukan pada seseorang yang menyapaku. Aku berharap dia juga mengatakan sesuatu.
"Hai, Gi... Apa kabar?" akhirnya aku menyerah dengan menyapanya terlebih dahulu.
"Alhamdulillah sehat, Yip juga sehat kan?"
Deg. Jantungku berdegup mendengar dia masih mau menyebut namaku seperti saat kami masih bersama dulu.
"Iya, aku juga sehat," jawabku sedikit gugup dengan mempersembahkan senyum semanis mungkin.
Tapi sepertinya percuma karena kepalanya kembali menunduk dan fokus pada bukunya.
Sedikit menyakitkan menjadi seseorang yang diabaikan. Tapi mungkin begitulah perasaannya dulu ketika aku sering mengacuhkannya saat kami masih bersama, sementara dia begitu keras menjaga hubungan ini dan membiarkan dirinya sendiri terluka.
Aku lupa setiap manusia memiliki batas kesabarannya sendiri, dan mungkin sekarang dia telah berada di ambang batasnya hingga nyaris mustahil untuk kembali. Meskipun aku tahu percuma menyesalinya. Tapi melihatnya kini jauh lebih bahagia, mewujudkan karya-karya dari tangannya dan mengejar mimpi.
Dia berhasil melangkah jauh meninggalkanku.
Hampir pukul 5 sore ketika motor Riska berhenti tepat di jalan kecil menuju rumah, aku turun sambil menyerahkan helmnya mengucapkan 'terima kasih' karena bersedia memberiku tumpangan untuk pulang.
"Sama-sama Gi, sampai ketemu besok ya, di sekolah," ujar Riska sembari melambaikan tangan sebelum menghilang bersama motornya.
Hari yang melelahkan.
Rapat berkali-kali dengan anggota pengurus mading belum lagi mengikuti kegiatan ektrakurikuler sepulang sekolah. Aku langsung membanting tubuhku di tempat tidur begitu tiba di rumah.
Aku menatap ke atas langit-langit kamar dengan pandangan menerawang tiba-tiba saja bayangan itu muncul sekelebat lalu menghilang.
"Astaga," aku bangkit dari tidurku kemudian duduk bersila sambil memeluk bantal.
Tadi pagi aku melihat rambut dan seragamnya sedikit basah, mungkin karena menerobos gerimis saat berangkat ke sekolah. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi aku malu apalagi dia menyapaku terlebih dahulu.
Mungkinkah dia sudah berubah?
"Ah, tidak. Aku tidak boleh memikirkannya," aku meremas bantal dalam pelukanku dan sesekali menggigitnya untuk melampiaskan kekesalan.
Sampai sekarang masih berat bagiku untuk melupakannya apalagi untuk melepas dia pergi. Tidak pernah sedetik pun aku tidak memikirkan dia hingga kini.
Itu sebabnya aku memilih untuk menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan di sekolah atau melampiaskan hobi travellingku untuk melupakannya.
Tapi ketika aku sendiri, bayangan itu tetap tidak mau pergi.
Makin sibuk saja dia sekarang, sepagi ini bahkan sudah berhadapan dengan rapat bersama anggota pengurus mading di depan kelasnya. Wajahnya tampak ceria dan begitu cerewet jika sudah membahas materi untuk madingnya yang terbit setiap hari Senin. Hingga dia tidak menyadari kehadiranku yang melintas di depannya.
"Selamat pagi Arif," sapa salah satu anggota pengurus mading yang duduk di sebelahnya.
Dia yang tadi hanya fokus pada buku yang berada di pangkuannya, refleks mendongakkan kepala begitu namaku disebut salah satu temannya.
"Pagi juga," balasku, tapi pandanganku masih tertuju padanya bukan pada seseorang yang menyapaku. Aku berharap dia juga mengatakan sesuatu.
"Hai, Gi... Apa kabar?" akhirnya aku menyerah dengan menyapanya terlebih dahulu.
"Alhamdulillah sehat, Yip juga sehat kan?"
Deg. Jantungku berdegup mendengar dia masih mau menyebut namaku seperti saat kami masih bersama dulu.
"Iya, aku juga sehat," jawabku sedikit gugup dengan mempersembahkan senyum semanis mungkin.
Tapi sepertinya percuma karena kepalanya kembali menunduk dan fokus pada bukunya.
Sedikit menyakitkan menjadi seseorang yang diabaikan. Tapi mungkin begitulah perasaannya dulu ketika aku sering mengacuhkannya saat kami masih bersama, sementara dia begitu keras menjaga hubungan ini dan membiarkan dirinya sendiri terluka.
Aku lupa setiap manusia memiliki batas kesabarannya sendiri, dan mungkin sekarang dia telah berada di ambang batasnya hingga nyaris mustahil untuk kembali. Meskipun aku tahu percuma menyesalinya. Tapi melihatnya kini jauh lebih bahagia, mewujudkan karya-karya dari tangannya dan mengejar mimpi.
Dia berhasil melangkah jauh meninggalkanku.
Side 2 |
Hampir pukul 5 sore ketika motor Riska berhenti tepat di jalan kecil menuju rumah, aku turun sambil menyerahkan helmnya mengucapkan 'terima kasih' karena bersedia memberiku tumpangan untuk pulang.
"Sama-sama Gi, sampai ketemu besok ya, di sekolah," ujar Riska sembari melambaikan tangan sebelum menghilang bersama motornya.
Hari yang melelahkan.
Rapat berkali-kali dengan anggota pengurus mading belum lagi mengikuti kegiatan ektrakurikuler sepulang sekolah. Aku langsung membanting tubuhku di tempat tidur begitu tiba di rumah.
Aku menatap ke atas langit-langit kamar dengan pandangan menerawang tiba-tiba saja bayangan itu muncul sekelebat lalu menghilang.
"Astaga," aku bangkit dari tidurku kemudian duduk bersila sambil memeluk bantal.
Tadi pagi aku melihat rambut dan seragamnya sedikit basah, mungkin karena menerobos gerimis saat berangkat ke sekolah. Sebenarnya aku ingin bertanya, tapi aku malu apalagi dia menyapaku terlebih dahulu.
Mungkinkah dia sudah berubah?
"Ah, tidak. Aku tidak boleh memikirkannya," aku meremas bantal dalam pelukanku dan sesekali menggigitnya untuk melampiaskan kekesalan.
Sampai sekarang masih berat bagiku untuk melupakannya apalagi untuk melepas dia pergi. Tidak pernah sedetik pun aku tidak memikirkan dia hingga kini.
Itu sebabnya aku memilih untuk menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan di sekolah atau melampiaskan hobi travellingku untuk melupakannya.
Tapi ketika aku sendiri, bayangan itu tetap tidak mau pergi.
sulit move on nih keduanya.
ReplyDeletetapi kasian dipihak ceweknya udah mencoba tuk melupakannya tapi bayangan sang mantan tidak bisa lenyap dari pikirannya
melupakannya sulit, nikmati saja hingga waktu yang menggilasnya
ReplyDeletehehe
Melupakan tak semudah mengucapkan, begitu kira-kira yang dia pikirkan. Tapi... ah sudahlah.. hehe
ReplyDeleteHem.. kejar terus. soalnya susah ngelupain :)
ReplyDeleteHe..he..
ReplyDeleteRupanya sulit untuk melupakan kenangan indah ketika bersama. Semua manusia pasti pernah merasakan hal yang sama, anggi hanya contoh kecil saja